Dukungan Pemerintah pada EBT Harus Dalam Bentuk Kebijakan

 


JawaPos.com – Keberpihakan pemerintah pada pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) tak cukup jika belum diwujudkan dalam bentuk kebijakan. Terutama untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan beberapa kementerian lain yang terkait.

Pemerintah dinilai cukup berpihak pada pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), seiring perubahan tren dunia. Tapi berpihak saja tidak cukup. Harus dituangkan dalam bentuk kebijakan.

Direktur Eksekutif Institute Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan beberapa kementerian lain cukup mendukung pertumbuhan pembangkit EBT. Dia mendorong niat baik dari pemerintah dituangkan dalam instrumen kebijakan yang lebih pasti.

“Niat baik itu belum tercermin dalam produk kebijakan. Mungkin ini masalah waktu. Saya lihat ada komtimen, tapi belum terjemahkan menjadi kebijakan yang bisa dilihat masyarakat dan menjadi acuan bagi pelaku usaha untuk investasi,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya, Selasa, (19/1).

Niat baik pemerintah mengembangkan EBT itu diuji dalam revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Karena ada penurunan target pertumbuhan listrik dari 6,4 persen per tahun menjadi 4,9 persen per tahun, pemerintah akan memangkas pembangunan pembangkit baru sebesar 15,5 ribu megawatt (MW) atau 15,5 gigawatt(GW). Pembangkit EBT terdampak.

Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana sudah menyampaikan kapasitas pembangkit EBT akan dipangkas sekitar 400 Megawatt (MW). Di sisi lain, seperti tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah memiliki target bauran EBT sebesar 23% bisa dicapai pada 2025.

“Kalau sesuai target RUEN sampai 2025 ada tambahan 10 gigawatt EBT.Kalau mengacu itungan tersebut, EBT harus dibangun 1,5-2,5 gigawatt setiap tahun. Menurutnya saya EBT seharusnya diprioritaskan, bukan dikurangi,” tegas Fabby.

Lebih lanjut Fabby juga menjelaskan, investasi awal untuk membangun pembangkit EBT memang mahal tetapi biaya operasional dan perawatan lebih murah dibandingkan pembangkit energi termal. Karena itu, dalam jangka panjang harga EBT bisa lebih murah.

“EBT seharusnya mendapat kemudahan, tapi kenyataannya tidak. Subsidi ke EBT tidak ada,” ujar Fabby.

Pengembangan EBT juga bisa membuka lebih banyak peluang kerja, sangat relevan dengan kondisi saat ini di mana angka pengangguran meningkat akibat pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik melaporkan jumlah pengangguran periode Agustus 2020 sebanyak 9,77 juta orang.

Mengutip bps.go.id, terdapat 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19, terdiri dari pengangguran karena Covid-19 (2,56 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19 (0,76 juta orang), sementara tidak bekerja karena Covid-19 (1,77 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 (24,03 juta orang).

Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani mengatakan, untuk memastikan pengembangan dan penyebaran energi terbarukan di seluruh Indonesia akan membuka banyak peluang kerja. Sekaligus akan membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia.

“Terutama untuk memperoleh kebutuhan esensial, seperti air bersih dan sanitasi, akses informasi dan pendidikan, peningkatan ekonomi lokal, literasi keuangan, hingga ketahanan pangan, dan mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih bersih,” kata Verena.

sumber:https://www.jawapos.com/ekonomi/energi/19/01/2021/dukungan-pemerintah-pada-ebt-harus-dalam-bentuk-kebijakan/

Share:

Arsip Blog

Recent Posts